Pada14 Juli 2011, ditemani kerabat bernama Dipo dan Uda, saya
berkunjung ke Padepokan Eyang Jugo di Desa Jugo, Kesamben, Blitar , Jawa
Timur. Sebelum mengupas seputar padepokan tersebut, ada baiknya saya
mengulas sedikit tentang Pesugihan Gunung Kawi.
Nama Eyang Jugo sangat erat kaitannya dengan Pesugihan Gunung Kawi di
Malang, Jawa Timur. Dapat dikatakan, Gunung Kawi termasuk lokasi
pesugihan paling populer di Indonesia dan Asia Tenggara. Meskipun belum
ada data valid seputar orang yang berhasil kaya setelah melakukan ritual
pesugihan di sana ataupun orang yang gagal menjadi kaya setelah ritual.
Persoalan lainnya adalah ada orang-orang yang bertindak seolah-olah
membantu melancarkan urusan Anda di Gunung Kawi, tetapi malah berakibat
menguras uang Anda. Khususnya terkait biaya selametan, ubo rampe dan
sebagainya.
Dalam hal ini, dibutuhkan kehati-hatian untuk mereka yang datang
dengan tujuan ritual. Jika Anda berkunjung sebagai seorang wisatawan
yang hendak menikmati keindahan panorama Gunung Kawi, tentu tidak
menjadi masalah.
Di sisi lain, daun dewandaru yang menjadi harapan diri ingin kaya,
juga sering menjadi permainan orang tertentu. Daun itu sengaja
dilemparkan orang hingga menjadi rebutan. Jadi bukan daun yang jatuh
dari pohon. Informasi ini saya dapatkan dari orang yang pernah berziarah ke Gunung Kawi.
Sesuatu yang mungkin sudah difahami bagi orang yang berziarah ke
Gunung Kawi adalah adanya sebuah Padepokan yang menjadi rumah tinggal
Eyang Jugo semasa hidupnya. Padepokan itu terletak di desa Jugo,
Kesamben, Blitar.
Ada banyak orang yang mengetahui Padepokan Eyang Jugo ini, namun tidak banyak peziarah yang mengunjunginya.
Dengan kata lain, para peziarah Gunung Kawi, khususnya yang bertujuan mencari pesugihan, tidak serta merta mengunjungi padepokan ini di Blitar. Melainkan langsung menuju makam keramat Eyang Jugo di Gunung Kawi, Malang.
Inilah yang kemudian menjadi problematika tersendiri bagi peziarah
yang datang langsung ke Gunung Kawi tanpa menyempatkan diri mengunjungi Padepokan Eyang Jugo.
Sementara itu, bagi para peziarah yang pernah datang ke Padepokan
Eyang Jugo justru mengaku merasa lebih mantap saat berziarah ke Gunung
Kawi. Terutama menyangkut tata cara dan prasyarat ritual yang harus
dipenuhi.
Betapa tidak, ada banyak cerita seputar peziarah yang kehabisan bekal
hingga tidak dapat pulang ke daerahnya masing-masing. Hal ini tentu
sangat menyedihkan. Semua itu terjadi disebabkan orang tersebut tidak
mengetahui banyaknya calo yang menjerat dirinya dengan biaya selametan
yang besar dan tidak masuk akal.
Bahkan yang lebih menyedihkan adalah upaya orang-orang tertentu yang
dengan sengaja mengambil keuntungan dengan cara yang tidak wajar.
Ambil contoh, adanya prasyarat hewan kambing kendit (hitam) yang di
tumbalkan secara hidup-hidup. Maksudnya, seorang peziarah Gunung Kawi
yang ingin mengikuti ritual pesugihan diharuskan membeli seekor kambing kendit untuk kemudian dilepas dalam keadaan hidup ke arah hutan.
Pada kenyataannya, kambing kendit tersebut disemir cat warna hitam
lalu dilepas ke hutan. Jadi bukan asli kambing berwarna hitam. Ketika
kambing itu dilepas ke hutan, tentu tidak berapa lama kemudian akan
kembali ke kandangnya atau diambil kembali oleh pemilik kambing
tersebut.
Harga hewan tersebut ada yang mencapai puluhan juta rupiah per ekornya. Di atas harga pasaran yang umum berlaku.
Daun Dewandaru
Menjadi kaya berarti harus kejatuhan daun dewandaru. Jika tidak
kejatuhan daun dewandaru, maka Anda tidak akan pernah menjadi kaya.
Inilah salah satu mitos penting di Gunung Kawi.
Daun dewandaru berasal dari pohon dewandaru. Di Gunung Kawi, daun ini
menjadi harapan seseorang yang ingin kaya. Dikisahkan, apabila
seseorang tirakat di bawah pohon dewandaru dan kejatuhan daun dewandaru,
maka dapat dipastikan dirinya akan kaya raya. Inilah mitos yang sudah
berurat akar bagi para peziarah dengan tujuan pesugihan.
Akan tetapi, tidak semua orang kejatuhan daun dewandaru tersebut.
Padahal mereka sudah berharap penuh kejatuhan daun tersebut. Uniknya,
ada orang-orang tertentu yang dengan sengaja melemparkan daun tersebut
hingga menjadi rebutan. Seolah-olah daun itu jatuh dengan sendirinya.
Kisah Singkat Daun Dewandaru
Meskipun demikian, saya pun mendapat cerita menarik seputar daun
dewandaru ini. Seorang kerabat saya bercerita seputar keunikan kisah
daun dewandaru ini.
“Saya mendapat cerita ini dari ayah saya. Kisah tentang daun
dewandaru yang membuat seorang perempuan menjadi kaya raya,” kata Dipo.
Dipo menceritakan bahwa saat Ayahnya berusia remaja (sekitar akhir
tahun 1960-an), memiliki seorang teman sekolah yang ekonominya tergolong
kaya. Keakraban Sang Ayah dengan temannya itu (sebut saja: Sugih)
membuatnya sering bermain ke rumah Sugih.
Orang tua Sugih terbilang kaya pada masanya. Selain memiliki areal
persawahan yang luas, penggilingan padi dan kendaraan lebih dari satu.
Padahal, pada masa itu masyarakat sedang berada dalam tingkat ekonomi
yang memprihatinkan.
Suatu ketika, Sang Ayah berkunjung ke rumah Sugih dan bermain seperti
biasanya. Ketika itu, orangtua Sugih berada di rumah dan sedang
berbincang dengan kerabat-kerabatnya.
“Saat itu, ayah saya mendengar ibunda Sugih berbicara tentang daun
dewandaru. Inilah yang membuat ayah saya tertarik dan ikut mendengarkan
semua cerita ibunda Sugih,” kata Dipo.
Dikisahkan, ibunda Sugih hidup dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan.
Suaminya hanya petani biasa, sama seperti masyarakat lain di desanya.
Karena itulah, perempuan ini pun pergi ke Gunung Kawi untuk mengadu
peruntungan. Dia ingin mengikuti ritual pesugihan semata-mata demi
meningkatkan ekonomi keluarganya.
Tentu saja niat mengubah nasib patut dipuji dan dihargai. Sebagaimana
terjadi pada masa sekarang, ada banyak isteri yang mengadu nasib ke
negeri orang menjadi Buruh Migran Indonesia (BMI).
Ibunda Sugih pun pergi ke Malang dan melakukan ritual di Gunung Kawi.
Bagian penting dari ritual itu adalah tirakat di bawah pohon dewandaru.
Ibunda Sugih tidak sendirian berada di bawah pohon itu. Ada banyak
peziarah yang juga melakukan hal yang sama. Mereka bersama-sama duduk di
bawah pohon sambil menunggu jatuhnya daun dewandaru.
Entah doa apa yang dibaca Ibunda Sugih di bawah pohon keramat itu.
Tiba-tiba saja, dia merasa ada selembar daun dewandaru yang jatuh ke
pundaknya. Tetapi, pada saat yang bersamaan, sejumlah orang yang berada
di dekatnya pun melihat daun dewandaru itu jatuh di pundak Ibunda
Sugih.
Mereka pun berteriak,” Daun dewandaru jatuh, daun dewandaru jatuh!”
Tentu saja mereka mendekati Ibunda Sugih dan berupaya merebut daun
dewandaru itu. Beberapa orang, kebanyakan kaum pria, menggeledah pakaian
Ibunda Sugih untuk mendapatkannya.
Ibunda Sugih hanya bisa menangis pilu saat pria-pria rakus itu meraba
tubuhnya, membuka BH secara kasar, mengangkat gaun pakaiannya. Bahkan
membuka celana dalamnya hingga nyaris telanjang bulat, seolah hendak
diperkosa. Memeriksa dengan teliti dimana daun dewandaru itu berada.
Tetapi upaya pria-pria rakus itu gagal mendapatkan daun dewandaru di
tubuh Ibunda Sugih. Mereka pun mencari-cari di tanah di tempat Ibunda
Sugih duduk tirakat.
Selanjutnya, Ibunda Sugih pulang ke rumahnya di Blitar sambil
menangis tersedu-sedu sepanjang jalan. Dia tidak menyangka dirinya akan
mendapat perlakuan tidak senonoh dari para peziarah lain yang juga
sama-sama ingin menjadi kaya. Betapa beratnya dirinya menerima perlakuan
semacam ini.
Lantas dimana daun dewandaru itu?
Inilah yang tidak diketahui para pria rakus itu. Setiba di rumah,
Ibunda Sugih masuk ke dalam kamar dan membuka celana dalamnya. Lalu dia
mengambil daun dewandaru itu dari dalam vaginanya.
Rupanya, sesaat setelah daun dewandaru itu jatuh menimpa pundaknya,
seketika Ibunda Sugih mengambil daun dewandaru itu dan memasukkannya ke
dalam liang vaginanya.
Itulah sebabnya tidak seorang pun para pria rakus itu menyadarinya.
Padahal, para pria jahanam itu sudah berhasil menelanjanginya.
Karma Buruk Kekayaan
Dipo melanjutkan cerita bahwa Ayahnya yang masih remaja itu mendengar
langsung cerita Ibunda Sugih seputar daun dewandaru yang membuatnya
menjadi orang kaya raya pada masanya.
Ketika itu, Sang Ayah pun mulai tertarik dengan kisah hidup keluarga
kaya itu. Sang Ayah tidak tertarik dengan cerita pesugihannya,
melainkan dampak yang terjadi setelah kaya raya.
“Ayah saya mengatakan bahwa keluarga Ibunda Sugih sering mendapat musibah,” kata Dipo.
“Ada diantara anaknya yang meninggal kecelakaan, ada juga yang gila.
Bahkan yang menyedihkan, ekonomi keluarga kaya itu pun hancur lebur,”
lanjut Dipo.
Dipo mengungkapkan, keluarga Ibunda Sugih memang hidup dalam
kekayaan. Tetapi jika dihitung hanya sekitar 10 hingga 15 tahun saja
hidup dalam kekayaan. Setelah itu yang terjadi hanya cerita duka yang
berujung hidup dalam kemiskinan.
Dua diantara anak Ibunda Sugih meninggal dalam kecelakaan. Bahkan
sahabat Ayahnya yang biasa mengajaknya bermain ke rumahnya itu menjadi
gila.
“Mungkin ini yang disebut karma buruk kekayaan Gunung Kawi,” kilah Dipo.
Kaya tapi tidak berkah
Kisah yang diceritakan Dipo Ningrat ini sangat menarik bagi saya.
Betapa tidak, nama Gunung Kawi yang sangat populer itu juga diakui oleh
salah satu konglomerat di negeri ini.
Sebagaimana tertulis dalam sebuah situs, pengusaha Ong Hok Liong
mencatat keberhasilannya dalam arsip di Museum Sejarah Bentoel di
Malang, Jawa Timur.
Singkat cerita, usaha rokok Ong Hok Liong sedang terpuruk. Beliau pun
melakukan tirakat di Gunung Kawi. Pada suatu malam, dirinya bermimpi
melihat bentul (talas).
Dia lalu bertanya kepada juru kunci makam yang lalu menganjurkan agar
merek rokoknya diberi nama Bentoel (ejaan lama).Sejak itulah, usaha Ong
meningkat drastis hingga menempatkannya menjadi konglomerat negeri ini.
Ini adalah cerita umum yang mungkin masyarakat sudah mengetahuinya.
Cerita ini pula yang semakin menjadi daya tarik Pesugihan Gunung Kawi.
Apalagi tercatat nama konglomerat lain yang juga ritual di gunung ini,
seperti Lim Sioe Liong (Sudono Salim) pemilik Bank BCA.
Namun demikian, jika kita mau jujur. Sesungguhnya kekayaan mereka
tidak lama. Kini kita tahu bahwa saham Bentoel tidak lagi dimiliki
keluarga Ong. Begitupula saham BCA tidak dimiliki keluarga Lim.
Dengan kata lain, mereka tidak lagi memiliki perusahaan yang
dibangunnya dari hasil pesugihan itu. Bisnis Ong Hok Liong dan Lim Sioe
Liong sudah hancur. Meskipun generasi berikutnya dari keluarga itu tidak
miskin dalam arti yang riil, tetapi tetaplah bahwa nama besar kedua
orang itu telah jatuh pada titik terendah.
Sebagaimana Lim Sioe Liong yang jatuh bisnisnya disaat mereka masih
hidup. Bahkan Lim Sioe Liong menetap di Singapura sekadar menghindari
hutang trilyunan rupiah. (Ingat resesi ekonomi pada akhir 1997 yang
membuat banyak konglomerat negeri ini berguguran dan terlibat hutang.
Justru Negara yang harus menanggung hutang itu).
Ini adalah bukti nyata, bahwa pesugihan, apapun bentuknya, tetap tidak berkah dan membawa karma buruk.
Eyang Jugo
Kembali ke awal tulisan. Kunjungan saya bersama Dipo Ningrat dan Uda
ke Padepokan Eyang Jugo disambut hangat juru kunci bernama Suharto.
Beliau adalah pewaris penerus juru kunci makam sebelumnya.
Secara halus, Suharto menolak berbicara tentang pesugihan yang
dikaitkan dengan nama Eyang Jugo. Dalam pandangan Suharto, sosok Eyang
Jugo adalah seorang ksatria, relijius dan bertakwa kepada Tuhan.
Hal itu bukan sesuatu yang aneh. Sebab Eyang Jugo adalah salah satu
diantara para panglima perang pasukan Pangeran Diponegoro. Tentunya kita
sudah mengetahui tingkat spiritualitas Pangeran Diponegoro.
Ketika Pangeran Diponegoro terdesak hingga akhirnya ditangkap,
beberapa panglimanya ini melarikan diri ke berbagai daerah, termasuk
Eyang Jugo.
Eyang Jugo menetap di Kesamben Blitar dengan menyamarkan identitasnya agar tidak terlacak intelijen Belanda.
Masyarakat desa dimana dia tinggal memanggilnya dengan sebutan Kaki
Tua. Sosok ini dikenal sebagai seorang yang memiliki kemampuan spiritual
tinggi hingga cukup disegani. Beliau dikenal sebagi orang suci, berbudi
luhur, sering membantu orang dan welas asih dengan sesamanya.
Hingga suatu ketika, datanglah dua orang pejabat tinggi Kerajaan
Mataram ke desa tersebut. Mereka hendak mencari Panembahan Jugo. Tentu
saja tidak seorang pun masyarakat yang mengenalnya.
Tetapi anehnya, ketika kedua orang itu hendak pergi meninggalkan desa
tersebut, tiba-tiba saja dikejutkan dengan suara beraneka ragam
binatang. Hewan peliharaan masyarakat, seperti ayam, kambing, sapi,
kerbau, bebek di desa itu mengeluarkan suaramembuat bising telinga.
Masyarakat desa heran.
Kedua orang pejabat tinggi itu pun menghentikan langkahnya. Keduanya lalu membalikkan tubuhnya menghadap arah desa tadi.
Seketika keduanya bersimpuh di tanah, seolah sedang menghormat
seseorang. Saat itulah masyarakat mengetahui bahwa sosok Kaki Tua yang
tinggal di desa itu adalah Panembahan Jugo.
“Eyang Jugo itu orang bijak, suka menolong dan membantu sesama,” kata Suharto seraya tersenyum.
“Kebaikannya inilah yang kemudian diasumsikan bahwa dia dapat
mendatangkan kekayaan. Padahal itu sesuatu yang tidak mungkin,”
lanjutnya.
Suharto mengaku sedih jika nama Eyang Jugo selalu dikaitkan dengan
Pesugihan Gunung Kawi. Memang benar, Eyang Jugo dimakamkan di Gunung
Kawi. Tetapi itu tidak lantas dirinya memberi kekayaan bagi para
peziarah yang datang ke makamnya.
“Jika Anda ingin mengetahui secara lengkap tentang siapa sesungguhnya
Eyang Jugo,silahkan datang ke padepokan ini. Saya siap menjelaskannya
secara lebih jernih kepada pengunjung,” katanya lagi.
Asal Usul Pesugihan Gunung Kawi
Suharto mengisahkan bahwa pada awalnya makam Eyang Jugo di Gunung
Kawi tidak dikenal sebagai tempat pesugihan hingga datangnya sosok pria
dari daratan Cina bernama Tamyang.
Suharto mengaku mengenal Tamyang. Tentu saja saat dirinya masih
kecil. Tamyang ini biasa datang ke padepokan Eyang Jugo menemui ayahnya
yang saat itu menjadi juru kunci.
Dikisahkan, Eyang Jugo pernah melakukan perjalanan ke daratan Cina.
Suatu ketika, dia bertemu dengan seorang perempuan hamil yang kehilangan
suaminya. Lalu Eyang Jugo membantu ekonomi janda yang hidup dalam
kemiskinan ini.
Tentu saja perempuan ini sangat senang dan berterima kasih dengan
bantuan Eyang Jugo. Sesuatu yang sudah menjadi tabiat Eyang Jugo dalam
membantu sesama.
Ketika Eyang Jugo hendak kembali ke Pulau Jawa, dia berpesan kepada
janda itu agar jika anaknya sudah besar kelak disuruh datang ke Gunung
Kawi di Pulau Jawa. Anak dari janda miskin inilah yang diberi nama:
Tamyang.
Pada era tahun 40-an, datanglah Tamyang ke Gunung Kawi. Tentu saja
dia hanya melihat makam Eyang Jugo, sebab Eyang Jugo sudah wafat
beberapa tahun sebelumnya.
Tamyang ingin membalas jasa Eyang Jugo yang telah berbuat baik kepada
ibunya di daratan Cina. Itulah sebabnya, dia merawat makam itu dengan
baik.
Pria Cina yang biasa berpakaian hitam-hitam mirip pendekar silat ini
merawat makam Eyang Jugo dan membangun tempat berdoa dengan gaya Cina.
Sejak itulah, peziarah semakin ramai mengunjungi Gunung Kawi. Tetapi
anehnya dengan tujuan mencari pesugihan dan bukan belajar bagaimana
menjadi orang bijak seperti Eyang Jugo. Nauzubillah Minzalik.
BaNi MusTajaB